Wednesday, June 7, 2017

celotehan random #3 : mari gemar membaca


setting: (siang hari yang panas, di ruangan kantin yang ber-AC)

(menghela nafas) "Mau jadi appaa[hh]... seharusnya, kita tuh [harus] punya kemampuan berpikir analitis. Seorang master, lulusan magister, ya harusnya daya analisisnya bagus.."

Gak tau kenapa kata-kata itu bisa muncul di sela-sela perbincangan santai di meja bundar itu. Sebenernya masih panjang kalimat terusannya, tapi berhenti disitu aja cukuplah sangat menyentil saia :D 
Kalimat itu diceletukkan oleh seorang teman satu angkatan yang menurut saya sangat cerdas, yang saking cerdasnya terkadang membuatnya dipandang "aneh" oleh society karena pemikiran-pemikirannya yang out of the box.

Tapi kalau dipikir-pikir, memang benar juga sii..apa yang dikatakan beliau.

Kalo dipikir-pikir (lagi), buat menganalisis sesuatu, paling nggak kita harus punya dasar atau acuan yang digunakan untuk menganalisis si sesuatu itu. Nah, acuan atau dasar itu ya tentunya berasal dari buku-buku atau teori yang kita baca. Yang intinya, baca dulu, baru pahami, kemudian menganalisis. Kalau nggak baca buku acuan, ya sama kayak mengarang indah :D

Statement juara lainnya: Gimana cara mau menganalisis, kalo males baca buku. Bisa gitu copy-paste? Yailahhh (sambil pegang jidat --__--')

                          ---------------------------------------------------------------------------------------

Setelah dipikir-pikir dan diinget-inget (lagi), banyaknya buku yang khatam dibaca selama kuliah kemarin, dihitung-hitung jumlahnya gak sampe sama jumlah jari tangan, hahahiks T_T.
Khatam di sini adalah yang dibaca sampai bener-bener dipahami dan dimengerti. Kalo buku-buku yang dibaca sekali dengan speed reading yang wuzz wuzz, entah tak tau berapa jumlahnya. Tapi, buku yang benar-benar dipahami dan dapat mengikuti alur si penulis, hanya ada beberapa. Antara lain buku "At Risk"-nya Wisner dkk, yang mau-tak-mau harus dibaca dan di-translate, karena tugas kuliah :D, ama "Masyarakat Risiko"-nya Beck karena udah disunting ke Bahasa Indonesia :D
Selain itu, buku-buku dasar tentang defense, "Tentang Ilmu Pertahanan" yang ditulis oleh dosen pembimbing yang kece dan keren, Pak Makmur a.k.a Pak Nano, dan terjemahan "On War"-nya Clausewitz yang ditulis Pak Makmur (lagi). 
Selebihnya, buku-buku tentang disaster punyanya Coppola dan Quarantelli, cuma dibaca bab yang dirasa menarik aja, sedangkan buku-buku perang macam Sun Tzu, Morgenthau, Hart, dan Cohen tentang geopolitik-nya, makin diliat dan dibolak-balik halamannya, makin gak paham -_-'.. 

Tapi beda rasanya kalau baca buku cerita ama komik. Mau setebal dan sekusam apa kertasnya, buku-buku Agatha Christie tampak lebih menggoda dibanding buku-buku yang disebutin tadi (hiks). Saia pun tak menampiknya.

Mungkin, dulu aturan nyokap yang mengharuskan berselang-seling kalo mau pinjam buku semasa di bangku sekolah, sedikit "memaksa" saia untuk paling gak membaca (atau sekedar membalik halaman :D) buku-buku yang "agak-berat-bahasannya".

Tapi gimana nasib kalau pinjam bukunya di perpustakaan kampus yang notabene gak menyediakan novel dan komik? 

atau

Aduh nasib, pas mau baca komik atau novel yang sudah dibeli, eeee malah pusing sama tugas-tugas harian.

Tenang... Anda gak sendirian :D, dan tetaplah membaca komik dan novel layaknya sebuah hiburan. Tapi "kewajiban" membaca buku pegangan tetap harus dilakukeun. Kalo nggak, meminjam (lagi) statement teman saya yang sangat cerdas itu, mungkin alasan Anda untuk kuliah lagi patut dipertanyakan.



nb. pinjem gambar dari sini

No comments:

Post a Comment